MALANG || jatenggayengnews.com – Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang tengah menuai sorotan tajam dari publik usai dinilai lepas tangan dalam kasus dugaan pemerkosaan yang dilakukan oleh mahasiswanya, Ilham Pradana Firmansyah, terhadap NB, seorang mahasiswi Universitas Brawijaya (UB).
Dalam pernyataan resmi pada Rabu (16/4/2025), Kepala Subbagian Humas UIN Malang, Muhammad Fathul Ulum, menyatakan bahwa pihak kampus telah menjatuhkan sanksi administratif berupa pemecatan terhadap pelaku. Namun, Ulum menegaskan bahwa urusan hukum maupun pemulihan korban bukan menjadi ranah tanggung jawab institusi.
“Kami hanya memberikan sanksi akademik. Untuk proses hukum dan hal lain, itu merupakan urusan pribadi yang bersangkutan,” ujar Ulum, dikutip dari Tirto. Ia juga menyatakan bahwa kampus tidak memiliki kewajiban moral terhadap korban.
Pernyataan tersebut langsung memicu gelombang kritik dari berbagai kalangan. Banyak pihak menilai sikap kampus terkesan tidak empatik dan mencerminkan kegagalan dalam menjalankan peran sebagai institusi pendidikan yang seharusnya melindungi korban kekerasan seksual.
Pemecatan Tak Cukup, Tanggung Jawab Moral Diperlukan
Menanggapi pernyataan tersebut, Kepala Biro Administrasi Akademik UIN Malang, Barnoto, berupaya membela keputusan kampus. Ia mengatakan bahwa pemberhentian pelaku telah sesuai dengan peraturan kampus berdasarkan SK Rektor Nomor 923 Tahun 2024. Namun, perdebatan muncul mengenai apakah langkah itu sudah mencerminkan tanggung jawab menyeluruh dari pihak kampus.
Tri Eva Octaviani, kuasa hukum NB dari YLBHI-LBH Pos Malang, menyebut tindakan UIN Malang hanya berfokus pada sanksi administratif, tanpa menunjukkan empati atau kepedulian terhadap pemulihan korban. Ia menilai, kampus seharusnya berperan aktif menjalin koordinasi dengan Universitas Brawijaya serta lembaga pendamping untuk memastikan korban mendapat dukungan yang layak.
“Kami memang meminta pelaku dikeluarkan, tapi itu bukan satu-satunya harapan kami. Seharusnya UIN Malang juga terlibat dalam upaya pemulihan korban, bukan justru menghindar,” tegas Tri.
UB dan Lembaga Pendamping Bergerak, UIN Malang Dinilai Pasif
Di tengah kondisi traumatis yang dialami NB, Universitas Brawijaya bersama beberapa lembaga seperti Women Crisis Center (WCC) Malang dan UPTD PPA Kota Malang mengambil peran penting dalam proses pendampingan. Mereka membantu korban mulai dari pelaporan ke polisi, visum, hingga pendampingan psikologis.
“UB menunjukkan respon yang jauh lebih cepat dan peduli dibanding UIN Malang. Kami lakukan pelaporan, koordinasi, hingga pendampingan psikologis secara intensif,” ujar Tri.
Kampus Dinilai Gagal Menjalankan Fungsi Perlindungan
Kasus ini mencerminkan lemahnya komitmen sebagian institusi pendidikan dalam mencegah dan menangani kekerasan seksual. Pemberhentian pelaku memang langkah awal, namun abainya kampus terhadap pemulihan korban dianggap sebagai bentuk kelalaian moral yang serius.
Apalagi, hal ini terjadi di lingkungan perguruan tinggi berbasis keagamaan, yang semestinya menjunjung tinggi nilai empati, keadilan, dan perlindungan terhadap yang lemah.
Saat UB dan para pendamping terus berupaya menguatkan korban, publik kini menunggu: apakah UIN Malang akan tetap berlindung di balik batas administratif, atau berani mengambil sikap yang lebih manusiawi?