Skandal Ijazah Jokowi, Ilmuwan Dikriminalisasi Kekuasaan?

Nasional139 Dilihat

jatenggayengnews.com – Sebuah analogi tajam muncul di tengah polemik hukum yang melibatkan Presiden RI ke-7, Joko Widodo, yang dinilai merefleksikan kembali sejarah kelam dunia ilmu pengetahuan empat abad silam. Dalam kasus yang kini bergulir di Polda Metro Jaya, Jokowi melaporkan sejumlah pakar, yakni ahli forensik digital DR Eng Rismon Hasiholan Sianipar, pakar telematika DR KRMT Roy Suryo Notodiprojo, serta Dr Tifauzia Tyassuma, yang mengkritisi keaslian ijazahnya. Banyak pihak mengaitkan peristiwa ini dengan pengadilan ilmuwan Galileo Galilei pada abad ke-17, yang dipenjara karena keyakinannya bertentangan dengan dogma Gereja Katolik.

Kala itu, Galileo meyakini bahwa bumi mengelilingi matahari—sebuah teori yang dianggap bidah oleh Gereja. Kini, dalam konteks Indonesia modern, para intelektual yang mengedepankan metode ilmiah dalam mempertanyakan aspek legalitas ijazah seorang mantan presiden justru berisiko dikriminalisasi. Hal ini menimbulkan kekhawatiran publik bahwa kebebasan berpikir dan bersuara, terutama yang berbasis keilmuan, tengah berada dalam ancaman.

Kasus ini bermula dari laporan Jokowi ke Polda Metro Jaya pada 29 April 2025 terhadap ketiga tokoh tersebut, yang dianggap menyebarkan informasi yang mencemarkan nama baiknya. Kritik terhadap Jokowi tidak hanya datang dari individu, tetapi juga tumbuh sebagai keresahan publik yang mempertanyakan konsistensi antara pernyataan dan realisasi kebijakan semasa kepemimpinannya. Sejumlah kontroversi seperti penggunaan APBN untuk proyek besar yang sebelumnya diklaim tidak akan membebani negara turut memperkuat kecurigaan masyarakat terhadap transparansi dan integritas sang pemimpin.

BACA JUGA  PPWI Sukses Gelar SKW Perdana Bagi Wartawan dan Pewarta Warga di Jakarta

Kritik akademik dari Rismon, Roy Suryo, dan Dr Tifa dianggap sebagai bentuk tanggung jawab intelektual. Dengan latar belakang pendidikan tinggi dan pendekatan berbasis data, mereka mencoba mengurai persoalan yang dinilai menyangkut kepentingan publik. Namun, alih-alih dijawab secara terbuka dengan bukti otentik, mereka justru dihadapkan pada proses hukum.

BACA JUGA  Jalan Karangbolong-Ayah Tengah Diperbaiki, Masyarakat Diminta Ikut Mengawasi

Sebagian kalangan menyayangkan respons aparat hukum yang dinilai lebih cepat menanggapi laporan pejabat negara ketimbang menyelidiki substansi akademik dari temuan yang dipublikasikan. Ini menimbulkan kekhawatiran bahwa supremasi hukum dimanfaatkan untuk membungkam kritik ilmiah dan bukan sebagai alat mencari kebenaran.

Wacana ini semakin kuat mengingat para pelapor berasal dari Universitas Gadjah Mada (UGM), institusi pendidikan tinggi ternama di Indonesia, yang ironisnya belum menunjukkan sikap terbuka atas klaim ijazah yang menjadi sumber polemik.

Sejumlah pengamat menilai bahwa jika kriminalisasi terhadap intelektual benar terjadi, hal ini akan menjadi kemunduran besar bagi demokrasi dan kebebasan akademik di Indonesia. Mereka menyebut Joko Widodo dapat dicatat dalam sejarah sebagai pemimpin yang merepresentasikan gelombang anti-intelektualisme, sebagaimana pernah disampaikan oleh cendekiawan DR Yudi Latif.

BACA JUGA  Jasa Raharja dan Korlantas Polri Serahkan Alat Bantu bagi Disabilitas Korban Kecelakaan Lalu Lintas

Penting dicatat bahwa Galileo akhirnya dibebaskan secara moral oleh Gereja Katolik setelah 350 tahun, menandai kebangkitan akal sehat di atas kekuasaan. Namun sebelum titik itu tercapai, kerugian besar dalam hal moral, waktu, dan kepercayaan publik harus dibayar mahal.

Kini, masyarakat menantikan apakah Polri akan menegakkan hukum dengan adil dan transparan, atau justru memperkuat kesan bahwa kekuasaan lebih dominan dibandingkan kebenaran ilmiah.