Jakarta||jatenggayengnews.com – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan bekerja sama dengan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) untuk mengevaluasi penggunaan E-Katalog dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah. Langkah ini diambil setelah adanya operasi tangkap tangan (OTT) di Kalimantan Selatan yang melibatkan praktik suap dalam pengadaan barang dan jasa.
Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata, menjelaskan bahwa praktik korupsi dalam pengadaan barang dan jasa (PBJ) sangat erat kaitannya dengan mekanisme E-Katalog. “Ada modus seperti pembelian berulang dari vendor yang sama dan mark up harga setelah barang di-upload oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK),” ujarnya. Ia berharap dengan monitoring yang lebih instan, terutama untuk proyek-proyek infrastruktur, dapat meminimalkan praktik kecurangan.
Untuk itu, LKPP juga meluncurkan fitur e-audit yang akan memudahkan pengawasan terhadap transaksi yang mencurigakan dalam E-Katalog. Sistem ini akan terintegrasi dengan KPK dan BPKP untuk mendeteksi potensi korupsi lebih dini.
Menurut data KPK, dari 2004 hingga 2023, sektor pengadaan barang dan jasa mencatatkan 339 kasus korupsi, menjadikannya sektor terbesar kedua setelah gratifikasi dan penyuapan. Oleh karena itu, KPK menjadikan sektor PBJ sebagai salah satu fokus utama dalam Monitoring Centre for Prevention (MCP).
Meskipun E-Katalog dimaksudkan untuk memangkas birokrasi dan mengurangi potensi kecurangan, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Nailul Huda, menilai bahwa korupsi masih bisa terjadi meski sistem sudah digital. “E-Katalog adalah alat, tapi peraturan dalam sistem bisa disesuaikan untuk memenangkan pihak tertentu,” jelas Nailul.
Isu ini kembali mencuat setelah Kepala Basarnas, Marsekal Madya Henri Alfiandi, ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap pengadaan barang yang menggunakan sistem lelang E-Katalog. Menteri Luhut Binsar Pandjaitan sebelumnya menyatakan bahwa digitalisasi seharusnya dapat menekan tindakan korupsi.