JATENGGAYENGNEWS.com-Pohon beringin yang diterpa angin puting beliung membuat banyak orang di jagat politik Indonesia tercengang. Bukan saja karena angin puting beliung itu menerpa sangat terkesan sebagai hasil rekayasa atau semacam ulah Dewa Siwa yang memang punya tabi’at memang merusak. Tapi fenomena bencana politik itu justru terjadi saat gonjang-ganjing politik usai Pemilu Pilpres dan Pemilu Legislatif 2024 sudah usai. Jadi rupanya Pemilukada pun perlu dibuat gempa susulan.
Orang banyak pun terperangah, termasuk banteng galak yang tertambat di seberang dengan luka di sekujur tubuhnya yang semakin melebar. Pilihan terbaik memang seperti yang dilakukan Koh Ulan undur diri secara total dari keterlibatan maupun sebagI peserta, akibat takut dengan ketakutannya sendiri yang bila tersakiti akan membuat perhitungan yang akan berlipat ganda dahsyat daya rusaknya. Jadi hanya orang yang nekat saja mau ikut bertaruh dan mengambil resiko untuk ditumbangkan atau rela untuk menumbangkan dengan cara yang keji dan kejam.
Dari narasi seperti itu jadi teringat persis dengan lintasan sejarah Partai Golkar yang panjang di negeri ini. Apa yang dihadapinya kini, seakan memutar balik kegaduhan diujung Reformasi 1998 yang pernah dihadapi partai Golkar, setelah meredanya isu kudeta terhadap partai lain yang gagal. Seakan tiba gilirannya bagi Partai Golkar. Tapi tak menutup bagi partai lain yang bisa mendapat giliran berikutnya.
Memang, pada dasarnya mereka yang nekat ingin melakukan kudeta itu karena tidak ada pilihan lain, seperti heroiknya pejuang kemerdekaan bangsa Indonesia di masa lalu. Pilihan mereka hanya satu ; Merdeka atau mati. Begitulah kurang lebihnya tekanan psikologis untuk seorang yang merasa seperti Dewa Siwa yang bernafsu untuk merontokkan pihak lain, agar sosoknya menjadi mahadewa sesembahan bagi mereka yang lain sebagai pesaing beratnya. Dan pohon beringin yang telah susah payah dirawat oleh sejumlah elemen bangsa sejak masa awal pertumbuhannya hingga memiliki sekretariat bersama yang lebih populer disebut Sekber itu, wajar membuat amarah tidak bisa tertahan. Sebab saham yang telah disemaikan Partai Golkar itu — sejelek dan seburuk apapun narasinya, dia telah banyak berperan juga menyemai dan mengajarkan berdemokrasi di negeri ini.
Jadi jelas Partai Golkar itu dimiliki oleh banyak orang, tak hanya milik mereka yang menjadi anggota maupun pengurus bahkan bidan yang melahirkan partai itu dahulu, adalah milik rakyat yang mendambakan demokrasi bertumbuh di negeri ini. Seperti gagasan awal dari Bung Karno dan Jendral TNI AD Abdul Haris Nasution yang gigih dan serius menggerakkan Angkatan Darat, jelas juga ingin menjadikan Golkar sebagai Partai Politik guna menghadapi PKI (Partai Komunis Indonesia) ketika itu. Demikian juga bagi sejumlah tokoh lain yang telah berjasa memelihara dan membesarkan Golkar, seperti Presiden Soeharto, Suhardiman dari Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia (Soksi), Mas Isman dari Kosgoro (Kesatuan Organisasi Serbaguna Gotong Royong) maupun MKGR (Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong) yang dibesut Kol. Inf. RH. Sugandhi Kartosubtoto yang kini dipimpin oleh Adies Kadir, justru sejak jauh hari telah memberi isyarat bila Partai Golkar sudah ditaksir oleh Presiden Joko Widodo.
Paparan Adies Kadir yang juga sebagai pejabat Ketua Partai Golkar jelas mengisyaratkan (baca DetikNews, 28 Februari 2024) bahwa setelah Joko Widodo kelak tidak lagi menjabat Presiden akan bergabung dengan Golkar, kata Adies Kadir ketika itu. Dia pun meyakinkan juga untuk semua kader partai akan menyambut Joko Widodo bergabung dengan senang dan gembira. Tentu saja tidak dengan tradisi kudeta ala Jawa.
Dan dia juga mengakui bila Ketua Umum Partai Golkar, Airlangga Hartarto akan sangat senang dan gembira menerima Joko Widodo masuk Partai Golkar, kata Adies Kadir ketika itu. Meski tidak merinci caranya seperti apa.
Jadi, proses pengambilalihan Partai Golkar sudah terencana jauh sebelum Airlangga Hartarto lengser ke prabon dengan langgam budaya Mataram ini justru dengan alasan demi kenyamanan banyak orang. Tapi pihak lain yang sudah berdarah-darah, pasti tidak rela partai yang telah mereka bangun dengan susah payah itu dibajak atau dikudeta hingga terkesan seperti barang rongsokan yang bisa dijual murah di pasar. Sebab bagaimana ceritanya, Golkar tetap menjadi simbol dari derap perjalanan demokrasi di negeri ini.
Setidaknya bagi Akbar Tanjung, saat berjuang mempertahankan Partai Golkar setelah dilindas oleh gerakan reformasi pra tahun 1998, semua orang tahu hingga Partai Golkar dapat kembali mengibarkan benderanya dengan gagah. Dan TNI AD yang juga telah banyak menanamkan saham, pasti tidak rela dan tidak tega untuk tinggal diam begitu saja. Sebab Partai Golkar pun telah memberi imbalan balik saham politik dalam upaya ikut mendewasakan dan membangun budaya demokrasi di Indonesia, meski dalam versi dan cara maupun aksentuasinya yang berbeda. Jika membajak Partai Golkar artinya juga jelas telah membajak demokrasi Indonesia.(red)