Banten||jatenggayengnews.com – Permintaan Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP), Sakti Wahyu Trenggono, untuk menunda pembongkaran pagar laut sepanjang 30,16 kilometer di Pantai Utara Tangerang, Banten, memicu spekulasi di tengah masyarakat. Pagar ini dinilai merugikan nelayan dan telah menimbulkan konflik sosial akibat pembatasan ruang gerak mereka untuk mencari nafkah.
Aksi protes dari warga, yang mencapai puncaknya pada 8 Januari 2025, hampir berujung bentrokan. Ketegangan muncul antara kelompok pendukung proyek dan masyarakat yang menentangnya, terutama di Desa Kohod dan Desa Kali Baru. Namun, tindakan tegas dari Pasukan Marinir di bawah Brigjen TNI AL Harry Indarto untuk membongkar pagar tersebut disambut positif oleh masyarakat, yang menganggap langkah ini sebagai bentuk keadilan terhadap arogansi kekuasaan.
Di sisi lain, koordinasi antara KKP dan Kepala Staf Angkatan Laut dituding terlambat. Proyek pagar laut yang melibatkan 280 sertifikat tanah, termasuk Hak Guna Bangunan (HGB) dan Sertifikat Hak Milik (SHM), disinyalir tidak sesuai aturan. Hal ini memicu investigasi lebih lanjut dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR/BPN). Menteri ATR/BPN Nusron Wahid mengungkapkan bahwa sejumlah sertifikat diterbitkan secara meragukan, melibatkan nama perusahaan dan individu tertentu.
Proyek senilai Rp65 triliun ini, yang mengatasnamakan pengembangan kawasan pariwisata “Tropical Coastland,” mendapat kecaman luas karena berdampak pada 16 kecamatan di wilayah pesisir Tangerang. Selain merugikan nelayan, proyek ini dinilai melanggar aturan internasional, seperti Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS 1982), serta putusan Mahkamah Konstitusi yang menjamin laut sebagai milik publik.
Tokoh spiritual Sri Eko Sriyanto Galgendu menilai perlawanan masyarakat terhadap proyek ini mencerminkan semangat kritis dalam menjaga keadilan sosial. Ia menegaskan bahwa semangat “rawe-rawe rantas, malang-malang putung” menjadi simbol perlawanan terhadap oligarki yang merusak tatanan bangsa.
Kasus ini menjadi bukti bahwa keterlibatan banyak pihak, mulai dari pejabat publik hingga perusahaan besar, telah menimbulkan keresahan sosial. Proyek tersebut kini dituntut untuk dibuka secara transparan dan diusut tuntas, demi menjunjung keadilan dan hukum di Indonesia.