Jakatra||Jatenggayengnews.com-Kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% yang direncanakan mulai 1 Januari 2025 menjadi topik perdebatan di tengah kondisi ekonomi Indonesia yang sedang terpuruk. Dalam lima tahun terakhir, Indonesia mengalami penurunan jumlah kelas menengah sebesar 16,5%, dari 57,33 juta orang pada 2019 menjadi 47,85 juta orang pada 2024, sementara angka kemiskinan hanya sedikit turun, dari 9,41% menjadi 9,03%. Di tengah penurunan daya beli masyarakat dan meningkatnya angka kemiskinan, kebijakan kenaikan PPN ini dipandang semakin membebani rakyat.
Kebijakan kenaikan PPN ini berpotensi memperburuk situasi ekonomi yang sudah melemah. PPN yang lebih tinggi dapat mengurangi daya beli masyarakat, terutama di kalangan kelas menengah dan masyarakat bawah. Sebagai kebijakan fiskal yang bersifat kontraktif, kenaikan pajak ini dapat menurunkan konsumsi, memperlambat pertumbuhan ekonomi, dan memperburuk kesenjangan sosial. Ini terjadi pada saat perekonomian Indonesia belum sepenuhnya pulih, dengan banyak kalangan yang masih merasakan dampak buruk dari pandemi dan lonjakan harga komoditas global.
Selain dampak ekonominya, ada juga persoalan hukum dan etika yang muncul terkait kenaikan PPN ini. Kenaikan tarif PPN sudah diatur dalam Undang-Undang Pajak 2021, yang menyebutkan bahwa tarif PPN bisa naik menjadi 12% paling lambat pada 1 Januari 2025. Namun, keputusan untuk menaikkan tarif tersebut seharusnya menjadi hak presiden dan DPR yang baru, yang dilantik pada 2024. Mengapa keputusan untuk menaikkan PPN ini justru dibiarkan oleh Presiden Jokowi hingga menjelang akhir masa jabatannya, dan tidak dilanjutkan oleh pemerintahan yang baru? Sebab, kebijakan fiskal semacam ini seharusnya menjadi bagian dari tanggung jawab pemerintahan yang sah pada tahun tersebut.
Meskipun kenaikan PPN ini telah diatur dalam undang-undang, tetap ada pertanyaan besar mengenai apakah langkah ini memang sesuai dengan situasi ekonomi Indonesia yang tengah terpuruk. Kenaikan pajak yang demikian hanya akan semakin menambah beban bagi masyarakat, terutama mereka yang berada di bawah garis kemiskinan. Oleh karena itu, banyak pihak yang menolak kebijakan ini, termasuk asosiasi pengusaha dan lembaga konsumen yang menganggap kebijakan ini tidak adil dan tidak tepat waktu. Penolakan ini semakin besar, terutama dari kalangan pengusaha yang khawatir bahwa kenaikan PPN akan semakin menekan konsumsi dan memperburuk daya saing usaha.
Sebagai kesimpulan, kebijakan kenaikan PPN yang akan berlaku pada 1 Januari 2025 patut untuk dibatalkan. Keputusan mengenai kenaikan pajak seharusnya menjadi wewenang pemerintah yang baru, yaitu presiden dan DPR periode 2024-2029, yang lebih memahami kondisi ekonomi terkini dan dampaknya terhadap masyarakat. Kebijakan fiskal yang diambil oleh pemerintah yang baru juga harus lebih memperhatikan kondisi sosial-ekonomi rakyat dan tidak hanya fokus pada upaya peningkatan pendapatan negara.
Dilansir dari: Repelita News Media