Jakarta||jatenggayengnews.com-Prof. Dr (HC) KH. Habib Khirzin sebagai aktivis perdamaian dunia bersama kawan-kawan dari Indonesia sudah mengusulkan agar di PBB (Perserikatan Bangsa-bangsa) ada juga Dewan Agama dan Spiritual supaya di lembaga dunia itu, ada suasana dan nuansa religius dan muatan spiritual, kata aktivis Indonesia ini yang tidak terlalu banyak dikenal dan kurang populer di negerinya sendiri. Gagasan dan usulan kepada PBB itu baru dia ungkapkan ketika menyambangi GMRI (Gerakan Moral Rekonsiliasi Indonesia) Jl. Ir. H. Juanda No. 4 A, Jakarta Pusat, pada 18 November 2024.
Dalam kesempatan temu kangen antara sahabat dan kerabat GMRI, sebagai salah seorang pendiri GMRI bersama Gus Dur dan Paku Buwono XII, Mas Habib Khirzin sempat berkisah tentang pengalaman spiritual bersamanya Kyai Hamam Jafar saat menjadi pengajar di Pesantren Pabelan, Magelang. Sehabis sholat isa, ceritanya mereka berdiskusi tentang banyak hal, tiba-tiba terjadi hujat lebat. Katena adanya pelepah kelapa yang rontok dan mengenai instalasi listrik, lampu pun di seluruh Pondok Pesantren Pabelan dan sekitarnya padam. Tapi obrolan serius kedua tokoh ini tidak lantas berhenti. Justru semakin asyik membicarakan masalah masa depan bangsa dan generasi muda Indonesia di masa mendatang.
Pengalaman spiritual ini muncul ketika KH. Haman Jafar berkomentar tentang keasyikan diri mereka berdua yang tetap berdialog serius dalam suasana gelap gulita. Kegelapan yang mereka nikmati ini seakan menggambakan kondisi Indonesia yang harus segera di terangi oleh cahaya harapan yang harus terus dinyalakan. “Jadi berdialog dalam kegelapan itu penting dan perlu dilakukan dalam kegelapan sekalipun. Karena untuk saling menatap muka antara yang satu dengan yang lain, bisa juga dilakukan dalam gelap. Dan yang terpenting, bisa terus dilakukan tanpa terpengaruh oleh suasana kegelapan yang merundung kita”, ujar Habib Khirzin yang sudah membangun jaringan dengan aktivis dan lembaga internasional.
Semasa di kampus UII tahun 1980-an, Mas Habib Khirzin termasuk mahasiswa abadi, sehingga tugas kuliahnya di Fakultas sempat merepotkan dang Dekan, Prof. Dr Damarjati Supadjar, karena harus bertemu dengan Mas Habib Khirzin yang tidak kunjung berminat untuk menyelesaikan skripsinya sarjananya sebagai tugas akhir akademik agar dapat memenuhi syarat untuk diwisuda sebagai sarjana filsafat.
Sosok Habib Khirzin memang berhak mendapat perhatian serius sang dekan yang sangat mengagumi dan menyayanginya. Karena itu, Damarjati Supadjar merasa berhak dan kewajiban memaksa Mas Habib Khirzin untuk segera menyelesaikan skripsi kesarjanaan di Fakultas Filsafat UGM supaya tidak sampai di drop out dari UGM.
Sebagai wujud penghormatan dan terima kasihnya atas perhatian yang sangat spesial ini, Mas Habib Khirzin pun merasa patut dan perlu mematuhi saran dan permintaan sang Dekan yang sesungguhnya masing-masing mereka telah memposisikan diri sebagai teman — bahkan saudara — lantaran sama-sama sebagai aktivis yang acap bertemu dalam berbagai forum seminar nasional maupun forum internasional.
Realitasnya memang penulis sendiri mengenal Mas Habib Khirzin yang nyaris selalu berada di Kampus Universitas Islam Indonesia, Jl. Tengku Cik Di Tiro No. 1 Yogyakarta. Belakangan setelah mengetahui Mas Habib Khirzin telah menyandang gelar ilmu filsafat, baru penulis paham bila sesungguhnya keberadaannya yang selalu tampak dominan beraktivitas di Kampus UII, semua itu membuktikan jaringan aktivitasnya Mas Habib Khirzin memang melintasi kampus yang ada di Indonesia. Maka itu, tak heran sesekali dapat diikuti pidato ilmiahnya dari sebuah kampus, atau pesantren di pelosok desa yang sulit dijangkau, namun tidak sedikit suaranya yang lantang dalam nuansa perdamaian yang dilontarkannya dari berbagai negara.
Saat aktif bergiat di Pesantren Pabelan, Magelang, Mas Habib Khirzin sempat menghantar nama pesantren berkibar-kibar di negeri orang. Sebab penghargaan cukup bergengsi, yaitu Aga Khan Award diraih oleh Pesantren Pabelan sampai berturut-turut serta menjadi rujukan aktivis mahasiswa di Yogyakarta semacam kampus ke dua ketika ingin memperoleh data, referensi, rujukan atau bahkan bimbingan langsung dari KH. Muhammad Habib Khirzin yang telah memiliki jam terbang-aktivitas sampai ke berbagai negara di Timur dan di Barat.
Kini Mas Habib Khirzin lebih khusyuk memberikan perhatiannya untuk Pesantren Darunnajah yang telah memiliki 22 Lembaga Pendidikan Pesantren di berbagai tempat dan daerah dengan beragam usaha lainnya untuk memajukan bidang pendidikan. Kendati dalam usia 75 tahun masih masih harus wira-wiri dari tempat tinggalnya kini di kawasan Candi Borobudur, Magelang. Beliau pun baru memperoleh anugrah gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta pada tahun 2022 atas sumbangan pemikirannya terhadap Keamanan dan Perdamaian Dunia yang bergema di berbagai manca negara, pada dua tahun lalu, 2022 setelah berusia 73 tahun.
Sebagai aktivis, Habib Khirzin tidak haya tekun dan gigih berjuang untuk perdamaian dunia, kata Sri Eko Sriyanto Galgendu sebagai Pemimpin Spiritual Nusantara yang mewarisi sekaligus pemegang amanat GMRI yang didirikan bersama sejumlah tokoh nasional lainnya, karena Mas Habib Khirzin kini menjadi Ketua Dewan Pembina Gerakan Moral Rekonsiliasi Indonesia yang tengah bersiap untuk menyelenggarakan pertemuan persahabatan dan persaudaraan internasional di Indonesia.
Pecenongan, 19 November 2024